Aku sedang
mempertanyakan satu hal, perlukah aku meminta maaf?
Aku punya beberapa
teman dekat, di antaranya Gina dan Akyun. Begitu dekatnya kami sehingga sudah
seperti keluarga sendiri. Nous partageons
beaucoup de choses, termasuk masalah cowok. Singkat cerita, ada masalah
antara Gina dan Akyun, tentang cowok. Dalam hal ini, aku merasa yang paling
dilema. Sebagai sahabat, aku seharusnya bisa menengahi mereka berdua, berlaku
adil bagi keduanya. Tapi kembali lagi sebagai manusia, kadang aku masih berlaku
subjektif, walaupun aku sudah merasa itu adalah adil.
Bagi Gina, untuk
memaafkan kesalahan Akyun, adalah hal yang sangat sulit, bahkan mungkin
mustahil. Terlalu sakit, katanya, dan ia tak pernah bisa mentolerir orang yang
sudah merusak kepercayaannya. Bagi Akyun, ia merasa bersalah sudah merusak apa
yang dipercayakan padanya, tetapi ia tak bisa mengelak karena ia
membutuhkannya. Dan untuk itu ia sangat meminta maaf. Bagiku, semua orang bisa
saja melakukan kesalahan dan kekhilafan. Dan menurutku, seolah-olah tak ada
yang bisa disalahkan jika itu adalah masalah hati dan perasaan.
Selama ini baik
Gina maupun Akyun, mereka selalu cerita padaku tentang masalah itu. Dan selama
ini pula aku selalu meminta Gina untuk memaafkan Akyun. Aku juga selalu meminta
Akyun untuk meminta maaf pada Gina. Sudah kira-kira dua tahun ini hubungan
mereka membaik, mendekati normal seperti dulu.
Tapi beberapa hari
yang lalu, Gina cerita ke aku lagi, katanya, ia teringat dengan kejadian itu
dan merasa sakit. Ahh, itu lagi. Kupikir sudah selesai. Jujur, aku sudah tak
mau lagi membahas itu karena kurasa itu sudah menjadi masalah mereka berdua.
Aku tak mau masalah mereka berdua itu merusak pertemanan kami, baik aku dengan
mereka berdua, maupun aku dengan yang lainnya, karena ternyata itu kenyataannya.
Akyun, pada saat yang sama, juga mengadu padaku, bahwa Gina ternyata bisa belum
bisa memaafkannya.
Oke, sekarang aku
ingin tahu apa maunya. “Aku pengen tahu, sebenarnya kamu ada niat untuk maafin dia ga?”. “Engga”, katanya.
Hmm, mau apa lagi? Orang dia ga mau maafin. Lantas, aku harus bilang apa?
-Ga cape apa,
Mbokde?
-Engga. Rasa
benciku ini ga sebanding dengan apa yang telah ia lakukan dulu. Kamu ga pernah
ngerasain sih, Mut, jadi kamu tahu gimana rasanya.
Waw..sebenarnya,
agak tersinggung aku dengan kata-kata Gina. Siapa yang curhat? Siapa juga yang maido? Ihh. Tapi dengan kata-kata ini
pula aku tersadar, yaa..sepertinya aku memang salah. Selama ini aku melihat
masalahnya dari sisi aku. Aku tak pernah melihat dari sisi dia. Jadi, memang
benar bahwa aku tak menghiraukan perasaannya. Selama ini aku memintanya untuk
selalu memaafkan, sedangkan aku lupa, setiap orang punya batasan maaf
sendiri-sendiri. Dan menjadi lebih salah lagi karena aku selalu memaksanya.
Bodoh, Arin.
Saat itu, aku
langsung teringat dengan sebuah kaidah, bahwa “Orang yang teraniaya lebih
berhak atas keadilan”. Memang tak bermaksud mencari siapa yang salah siapa yang
benar, tapi jika harus ada, maka dalam hal ini Akyun-lah yang bersalah. Lalu
aku mencoba berpikir, dari sisi keduanya.
Aku bilang ke Gina,
“Memang Mbokde, aku tak pernah ngerasain apa yang kmu rasain, jadi aku tak tahu
gimana harus bersikap. Aku Cuma bisa bilang, kalo memang kamu merasa sakit
karena itu, lupakan saja. Kamu memang ga bisa ngelupain rasa sakitnya, jadi
kamu bisa lupain orang yang bikin sakit itu. Mungkin dengan memberi hukuman
akan membuat perasaanmu jadi lebih baik, jadi anggap saja itu sebagai hukuman
buatnya”.
Aku juga bilang ke
Akyun, “Yun, setiap orang punya batasan maaf yang berbeda-beda. Mungkin jika
dalam posisi Gina, aku atau orang lain bisa saja memaafkan, tapi mungkin bagi
dia tidak. Jadi, harap terima jika dia belum bisa maafin kamu, atau bahkan
tidak maafin kamu. Yang penting kamu udah menyesali apa yang kamu perbuat dan
meminta maaf. Kuharap kamu bisa maklumin dia ya...”.
Kuharap aku tidak
salah mencoba memberi keadilan bagi keduanya.